Belum lama
ini Lewa Pardomuan membuat daftar nama sejumlah orang di Indonesia yang
terlibat upaya membangkitkan tradisi pertenunan. Nama saya, berikut nama MJA
Nashir, tidak tercantum pada daftar itu, padahal hemat saya seharusnya
tercantum. Selama ini memang kami belum memproduksi ulos ataupun disain/pola
baru. Namun saya yakin bahwa kami telah mengambil langkah-langkah penting dalam
upaya merevitalisasi tradisi pertenunan Batak.
Menurut
saya, revitalisasi tradisi pertenunan masyarakat “adat” adalah urusan para
penenun. Bukanlah urusan para perancang mode. Dan bukan pula urusan dunia fashion.
Kaum
penenunlah yang telah menciptakan semua tradisi pertenunan di Indonesia. Hasil
kolektif mereka telah terhimpun selama berabad-abad. Tradisi pertenunan di
Indonesia merupakan daya cipta atau kreatifitas dan keterampilan para penenun
dalam mengelola sumberdaya setempat maupun pengaruh-pengaruh dari luar. Setiap
generasi mengembangkan tradisi itu atas dasar warisan dari generasi-generasi sebelumnya.
Berdasarkan asumsi (yang saya rasa benar) bahwa tradisi pertenunan awal
bersifat relatif sederhana kemudian bertambah kompleks seiring perjalanan
waktu, maka hasilnya merupakan produk budaya dari kaum perempuan kampung yang
memiliki keterampilan artistik dan keterampilan lain. (Saat ini tidak dapat
disangkal bahwa kita sedang menyaksikan tahap menurunnya tingkat kompleksitas
dan mutu artistik, dengan banyak jenis tenunan yang sudah hilang dan sebagian
lagi yang sedang menghadapi kepunahan.) Kaum perempuan di kampung sudah tidak
lagi mengembangkan tradisi pertenunan di atas dasar warisan masa lampau:
sebagian besar pengetahuan dan keterampilan yang telah terhimpun selama sekian
abad sudah tidak bisa mereka akses lagi. Menurut saya, upaya revitalisasi harus
berfokus pada pengembangan kembali keterampilan mereka.
Beberapa di
antara contoh-contoh kebangkitan kembali yang tercatat di daftar Lewa Pardomuan
merupakan hasil karya para perancang mode yang telah memberi pesanan kepada
para penenun. Kerjaan ini biasanya berkaitan dengan perkembangan di dunia mode
yang “mengatasnamakan” atau merujuk pada tradisi pertenunan “asli”. Apakah
kerjaan ini dapat dikatakan “kebangkitan” atau revitalisasi? Saya rasa tidak.
Saya tidak ada masalah dengan kaum perancang; karya mereka penting dan bahkan
memukau. Tetapi penghidupan kembali tradisi pertenunan “asli” melalui karya
kaum perancang? Saya rasa ini tidak benar. Kerjaan kaum perancang adalah usaha
yang kompetitif dan bersaing atas dasar merujuk atau “mengatasnamakan”
keterampilan, sumberdaya dan pola masyarakat “adat”. Bila modal atau usaha kaum
perancang itu bangkrut, “kebangkitan” juga akan hancur karena semata bergantung
dari usaha tersebut. Usaha itu tidak berakar dalam kebudayaan kaum penenun.
Tidak pula berakar di kalangan kaum penenun sendiri; mereka itu hanya bekerja
untuk para perancang.
Hemat saya,
penghidupan kembali tradisi pertenunan berurusan dengan pemberian inspirasi
kepada semangat, pengetahuan serta keterampilan kaum penenun. Pengetahuan yang
saya maksud itu berkaitan dengan peran mereka sebagai penjaga dan pelestari
warisan teknis dan warisan disain/pola. Oleh UNESCO warisan ini disebut warisan
tak benda (intangible heritage). Keterampilan yang dimaksud adalah
kepandaian untuk mewujudkan pengetahuan itu dalam bentuk “benda”. Revitalisasi
tradisi pertenunan berurusan dengan perluasan keterampilan tangan para penenun
tetapi juga perluasan dan pengembangan apa yang ada di benak dan di hati
mereka. Hasil berupa benda hanyalah perwujudan sesaat dari pergelutan para
penenun dalam dunia intelektual / spiritual / teknis mereka. Bila para penenun
tidak “diasuh” (secara fisik, spiritual, intelektual), maka tradisi pertenunan
tidak dapat dihidupkan kembali. Tenunan indah hasil revitalisasi hanya akan
muncul bilamana para penenun terinspirasi, memiliki bakat, dilatih dengan baik
dan memiliki “jam terbang” yang lama – dan bilamana mereka cukup memiliki rasa
percaya diri dan percaya pada keterampilan yang dimiliki. Bila tidak, maka
mereka tidak akan menghabiskan tenaga untuk menciptakan tenunan dengan
memanfaatkan keterampilan mereka secara maksimal. Tambahan pula, mereka
memerlukan “kelapangan” untuk dapat membuat tenunan yang indah. “Kelapangan”
yang dimaksud adalah waktu yang cukup serta kekuatan finansial. Selanjutnya,
mereka membutuhkan pola-pola sebagai wahana untuk mengasah keterampilan mereka
berdasarkan referensi contoh-contoh hasil karya leluhur. Kebangkitan tradisi
pertenunan tidak dapat dikembangkan di kalangan penenun yang susah payah
kehidupannya, yang hanya memperoleh penghasilan minim dari pasaran dan harus
menghidupi keluarga yang terkena dampak kemiskinan. Bila seorang penenun
terpaksa menjadi buruh kerja (sebagaimana biasa terjadi kalau dia menerima
pesanan dari perancang mode), maka teknik-teknik yang akan dipraktekkannya
sangat terbatas jumlahnya, diulang-ulang terus dan membosankan, hanya untuk
menghasilkan upah yang tidak memadai. Menghidupkan kembali warisan pertenunan
kemungkinan tidak sempat mereka pikirkan lagi. Saat mereka berfokus pada pemenuhan
tuntutan disain yang ditetapkan orang lain, maka yang mereka lakukan bukan
merevitalisasi tradisi mereka melainkan bertindak sebagai buruh bayaran. Posisi
mereka adalah posisi bergantung. Revitalisasi berkenaan dengan pemberian “ruang
gerak” atau keleluasan untuk mengekspresikan kreatifitas para penenun,
kreatifitas yang sesungguhnya melimpahruah.
Proyek-proyek
“Pulang Kampung” saya berintikan memberi kepada para penenun, bukan
meminta sesuatu dari mereka. Artinya, membalikkan arah arus dunia yang mengeksploitasi
(memeras) mereka. Kepada kaum penenun tim Pulang Kampung telah mengembalikan
warisan pertenunan mereka, dalam bentuk cetak (sebuah buku yang
mendokumentasikan inventaris pola dan jenis pertenunan yang pernah ada) supaya
mereka dapat mengakses pengetahuan itu --- suatu hal yang mustahil bagi mereka
dalam situasi tidak adanya museum yang melayani kebutuhan informasi dan juga
karena di kampung-kampung sudah tidak ada lagi karya-karya pertenunan indah
dari zaman dahulu yang dapat menjadi contoh. Karena buku saya Legacy in
Cloth, Batak Textiles of Indonesia dicetak dalam bentuk “mewah”, maka buku
itu telah membangkitkan rasa bangga atas warisan tradisi di kalangan para
penenun. Film kami, Rangsa ni Tonun, juga ikut menciptakan rasa bangga.
Film itu mengingatkan kepada mereka bahwa di masa lampau di Tano Batak, saat
kebudayaan masih sangat hidup, masyarakat percaya bahwa para penenun melakukan
kerja Dewi Si Boru Hasagian. Kerja-kerja
mereka dipuja dan dipuji. Tambahan lagi, para pemain dalam film kami, yang
terdiri dari penenun biasa dari kampung, merasa sangat bangga karena telah
menjadi “bintang film” yang mempertontonkan bakat pertenunan mereka kepada
dunia luar.
Saya yakin
bahwa berbagai “ekspedisi” Pulang Kampung yang dilakukan MJA Nashir dan saya sendiri
telah cukup banyak ikut meningkatkan kesadaran bahwa tradisi pertenunan Batak
sedang merosot dan sudah di ambang kepunahan ---- juga kesadaran bahwa hal ini
semestinya tidak boleh dibiarkan berlangsung terus. Sekarang sudah ada beberapa
orang di “lini depan” yang mulai membahas --- dan mulai mengambil
langkah-langkah – tentang revitalisasi tradisi pertenunan Batak.
Namun
sampai saat ini semua perhatian ini belumlah berhasil mengatasi situasi
menyedihkan para penenun Batak. Karena “menghilangnya ulos” telah menjadi topik
yang ramai dibicarakan sekarang, banyak orang merasa prihatin --- tentang ulos
yang menghilang, bukan tentang nasib para penenun. Sedikit sekali yang berfikir
mengenai hubungan antara situasi kaum penenun dengan merosotnya tradisi pertenunan.
Tradisi pertenunan di kampung merosot terus karena para penenun tidak menerima
penghasilan yang layak dari hasil karya mereka dan karena perempuan muda tidak
tertarik untuk belajar menenun. Memang mengapa mereka harus mau menempuh
kehidupan yang melarat yang akan menjadi hasil kerja luar biasa berat sebagai
seorang penenun jaman ini?
Tahun lalu
dilaksanakan suatu upacara yang bertujuan untuk merayakan "warisan tak
benda” tetapi sebenarnya hanya mengetengahkan warisan “benda”. Si penenun tidak
diikutsertakan. Si penenun belum cukup dihargai dan dirayakan walaupun dialah
sumber dan pencipta dari tenunan yang oleh semua pihak, yang katanya dicintai
dan ingin dilestarikan. Apakah ini terjadi karena walaupun si penenun adalah
keturunan dewi pertenunan dari mitologi, namun dia hampir tidak kelihatan, di
posisinya yang paling rendah di struktur sosial masyarakat?
Kemana saja
saya pergi, saya mendorong para pemimpin politik untuk memberi kepada
para penenun apa saja yang mereka butuhkan tidak hanya untuk bertahan
tetapi juga untuk hidup secara layak dan sejahtera:
Tetapkan
kampung-kampung penenun sedemikian rupa sehingga para turis mudah berjumpa
langsung dengan para penenun.
Muliakan
para penenun dengan mengakui bahwa mereka adalah pahlawan budaya.
Sebarluaskan
brosur-brosur mengenai tradisi pertenunan.
Promosikan
para pembuat kain tenun sebagai seniman; jangan biarkan mereka tidak dikenal
dan hanya dianggap sebagai “buruh” atau pengrajin tanpa nama.
Soroti
peran penenun, tidak hanya peran perancang mode atau peran politisi yang hanya
menggunakan keterampilan si penenun untuk menunjukkan bahwa perancang mode atau
politisi itu adalah “pelindung” dan promotor budaya.
Di
Indonesia biasanya perhatian diberikan “ke atas”, kepada orang yang berstatus
tinggi. Menghidupkan kembali tradisi pertenunan berarti membalikkan arah arus
ini ---- atau mengakui bahwa si penenun, walaupun miskin dan “sederhana”, namun
merupakan pahlawan budaya dan perlu dihargai dan dirayakan karena itu.
Inilah,
Lewa, yang merupakan tujuan upaya saya selama ini. Inilah mengapa kami memberi
nama “Pulang Kampung” pada proyek-proyek saya: kami ingin agar pemberian
penghargaan, penghormatan dan sumberdaya mengalir ke kampung-kampung tempat
benda-benda budaya seperti ulos dihasilkan. Para penenun selama ini telah
diperas secara ekonomi maupun secara sosial, dan fenomena ini nampak jelas
dampaknya pada hasil karya mereka. Bila kita menginginkan agar terjadi
revitalisasi pertenunan, maka kita membutuhkan revitalisasi budaya yang
menghubungkan kembali para penenun dengan karya-karya nenek moyang mereka dan
memberi inspirasi pada kaum muda agar mereka juga ingin menjadi pewaris dan
pelestari tradisi-tradisi mereka di masa mendatang.
No comments:
Post a Comment