Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah mendaftar ulos Batak tradisional sebagai ‘warisan budaya tak benda nasional’ (‘national intangible cultural heritage’). Peringatan ini dirayakan di Jakarta dan Sumatera Utara pada tanggal 17 Oktober 2015 sebagai Hari Ulos Nasional dengan semangat untuk menjadikannya sebagai acara tahunan.
Panusunan Simanjuntak membacakan puisinya tentang ulos |
Acara ini dirayakan secara megah. Berbagai pidato berkumandang; festival musik tradisional Batak (gondang) dan tarian tradisional (tortor) dimainkan; fashion show berbahan ulos diperagakan, film MJA Nashir dan saya “Rangsa ni Tonun” tentang teknik tenun Batak Toba diputar; dan Panusunan Simanjuntak membacakan puisinya tentang ulos kepada khalayak yang sangat apresiatif. Semua orang dimohon mengenakan ulos dan mereka lakukan. Ada kebanggaan, bahkan euforia.
Sementara saya di sini di Belanda dan hanya bisa merayakannya secara kecil-kecilan, tak lebih dari sekedar mengikuti proses perayaan tersebut melewati Facebook. Pada suatu pendapat saya membuat komentar bahwa tradisi ulos juga bisa dirayakan sebagai tangible heritage (warisan budaya benda). Sulit untuk menentukan dari segenap report yang ada di Facebook yang mana sesungguhnya bagian yang ‘intangible' yang masuk ke dalam perayaan tersebut, namun komentar saya tentang ‘tangible heritage’ Batak dimaksudkan untuk membuat orang mulai berpikir tentang perbedaan antara yang intangible dan yang tangible atas ulos.
Sejauh yang bisa saya tentukan, seperti juga yang biasa menjadi kutipan banyak orang tentang ulos: bahwa ulos merupakan tanda identitas Batak, pembawa berkah dari hulahula kepada boru dan menjadi kendaraan bagi doa karena tanpa itu doa tidak mampu mencapai dunia ruh/spiritualitas Batak tradisional (bahwa tak seorang pun lagi akan mengakui percaya dunia spiritualitas tradisional tersebut karena membawa sebuah stigma anti-Kristen). Apakah tidak ada hal-hal lainnya lagi yang merupakan intangible heritage (warisan budaya tak benda)?
Intangible Heritage, menurut UNESCO (tidak diragukan lagi inspirasi di balik program ini) meliputi tidak hanya unsur fisik (tangible) tapi "juga mencakup ekspresi hidup dan tradisi-tradisikelompok dan masyarakat yang tak terhitung jumlahnya di seluruh dunia yang telahdiwariskan dari nenek moyang mereka dan diturunkan kembali kepada keturunanmereka, dalam banyak kasus berlangsung secara lisan. "..." Sebagai penggerakkeragaman budaya, living heritagesangat rapuh.”
Bagi pikiran saya, ada ironi yang sangat menyedihkan dan mendalam di dalam perayaan warisan budaya tak benda dari ulos tersebut justru karena komponen yang telah punah itu. Saya masih bertanya-tanya apakah bagian 'intangible' dari ulos itu telah disinggung dengan cara apapun pada tanggal 17 Oktober? Keprihatinan saya adalah bahwa sangat sedikit yang diketahui lagi tentang bagian 'intangible' ulos. Jika para penyelenggara dan sekarang mereka ingin merayakan ulos dari segi ini, akankah hari perayaan itu tidak tampak berbeda? Maksud saya ini dalam arti harfiah. Sepertinya hari perayaan itu didasarkan pada status quo ulos yang nyata di masa sekarang.
Dari gambar yang saya lihat, sebagian besar tekstil yang dipakai adalah dari jenis desain Sadum. Sadum aslinya bukanlah ulos Batak Toba; asalnya dari Angkola. Menjadi terobosan secara perlahan selama abad ke-20, pertama ke Silindung, kemudian selebihnya ke Toba, lalu ke Simalungun dan Karo. Awalnya itu turun di luar adat tetapi hanya menjelang akhir abad lalu secara bertahap menjadi diterima, atau setidaknya tidak lagi dilarang, sebagai kain adat. Sekarang jenis kain ini telah menjadi desain ulos yang dominan yang telah memudarkan hampir semua jenis ulos lainnya (dengan pengecualian sesekali Ragi Hotang, Ragidup dan Pinunsaan dan suji Batak). Betapa ironis bahwa orang-orang justeru menggunakan desain kain Angkola ini untuk merayakan warisan tenun tak benda dari Toba! Inilah sebuah gejala kepunahan yang tanpa disadari atas warisan budaya takbenda dari Toba, dan bukannya cara untuk mendorong pelestariannya.
Kedua, saya melihat bahwa sebagian besar ulos yang dipakai adalah tenun ATBM (semi-mekanik) dan bukan tenun tradisional (tenun gedhogan). Kain-kain tenun itu dihiasi dengan benang sintetis yang tidak ada hubungannya dengan warisan tekstil lokal, tetapi merupakan gejala dari pengaruh eksternal yang relatif baru. Dalam pengalaman saya, warisan tak benda (intangible) dari ulos dinyatakan terutama dalam cara kain tradisional Batak yang dibuat melalui alat tenun gedhogan dan bukan hanya di dalam bagaimana kain-kain tersebut digunakan dalam ritual. Aturan desain dan teknik (ketakbendaan ulos) menghasilkan penyegaran fisik (kebendaan ulos) dari pemikiran tradisional Batak atau pandangan dunia (warisan budaya tak benda). Justru inilah yang telah menghilang dalam produksi ulos untuk pasar. Ada beberapa alasan untuk ini. Salah satunya adalah bahwa gereja telah mengecilkan pandangan dunia Batak tradisional. Lainnya adalah bahwa telah berlangsung lama di masa sekarang, pasar ulos belum mendukung karya terbaik yang bisa dibuat seorang penenun dengan waktu yang diperlukannya untuk menghasilkan kualitas tinggi. Sekarang penenun hanya menghasilkan yang serba cepat-cepat saja. Mereka dipaksa bersaing dengan produk yang lebih cepat dari alat tenun semi-mekanik (ATBM) tersebut. Dan itu berarti bahwa mereka akan selalu gagal! Mereka akan selalu memiliki rasa kekurangan karena pekerjaan mereka lebih lambat dan pendapatan mereka lebih kecil dari pemilik pabrik dan pekerja ATBM. Hal ini berdampak bagi tingkat kerja mereka, kualitasnya menjadi lebih rendah.
Saya ingin tahu dimana ada komponen dari perayaan tersebut yang telah dirancang untuk mendorong karya terbaik dan yang tradisional dari seorang penenun? Apakah ada tenunan yang telah diseleksi karena kandungan intangible tradisional mereka? Saya ragu karena justru itulah yang telah hilang. ‘Ulos terpanjang' yang dirayakan pada hari itu dibuat pada alat tenun semi-mekanis (ATBM). Apakah masih ada lagi orang Batak yang ingat bahwa ulos yang sangat panjang dulu dibuat dengan alat tenun gedhogan untuk digunakan selama horja bius, ritus tahunan besar merayakan kelangsungan hidup?
Ketiga, ada fashion show dari bahan bakal yang disebut 'ulos', tapi dari semua yang tampak itu, merupakan kain yang terbuat dari alat tenun ATBM. Fashionalisasi adalah fungsi dari kekuatan ekonomi global yang menggabungkan kepribumian (adat) tetapi meninggalkannya sedikit atau tak ada ruang lagi untuk berfungsi pada batasan-batasannya sendiri. Saya mencoba memahami produk fashion menggunakan kain ulos menjadi bertentangan dengan perayaan warisan budaya tak benda. Fashion dapat merayakan 'penampilan' dari ulos, merayakan desain dengan mengesampingkan komponen multi-dimensi ketakbendaan (intangible). Fashion ulos ditampilkan untuk memperagakan bahwa orang Batak telah memasuki ranah yang disebut 'modernitas'. Ironisnya lagi bahwa orang-orang ingin menunjukkan bahwa mereka adalah modern, padahal nyatanya 'modernitas' adalah semuanya yang telah mereka miliki. Sejarah kuno mereka atas warisan budaya tak benda telah hilang. Fashion menggerakkan tradisi ulos bahkan lebih menjauh dari warisan budaya tak benda yang agung dari masa silam.
Saya masih terus bertanya-tanya apakah ulos dapat dihidupkan kembali? Ini akan menjadi sebuah anakronisme jika dihidupkan kembali, referensi ke dunia Batak dari masa lalu. Saya percaya ada nilai dalam kebangkitan macam itu karena saya memperhatikan bahwa banyak orang Batak yang lapar dan haus akan pengetahuan tentang warisan mereka. Ini akan menghasilkan pemahaman yang lebih lengkap dari identitas mereka. Hari-hari di masa silam memang tidak akan pernah kembali, tetapi tradisi tenun masih bisa diturunkan menjadi sesuatu yang sangat berharga, yang artistik, yang bentuknya terbatas. Apakah itu masih ada di mana saja dalam bentuknya yang intangible? Karena kebangkitan tradisi ulos tergantung pada aksesibilitas pengetahuan intangible ini. Pengetahuan intangible adalah sumber dari kain yang tangible. Apa manfaat intangible warisan Batak dari adanya Hari Ulos Nasional? Apa manfaatnya bagi para penenun tradisional (gedhogan)?
Saya ingin mengeluarkan tantangan bagi para penyelenggara Hari Ulos Batak Nasional. Saya menantang Anda untuk memanfaatkan energi dan antusiasme perayaan ulos ini di tahun-tahun mendatang agar benar-benar bermanfaat bagi para penenun tradisional Batak. Saya menantang Anda untuk menyelidiki 'karakter ketakbendaan' (‘intangible character’) dari ulos Batak (di luar fungsi kain) dan kemudian membuatnya dikenal untuk anak cucu, merayakannya untuk anak-anak dan cucu-cucu Anda, sehingga generasi mendatang pun bisa mengaksesnya. Apa perlunya perayaan warisan budaya takbenda itu jika warisan itu punah? Apa sesungguhnya yang sedang dirayakan pada tanggal 17 Oktober? Apakah barangkali hanya sekedar kebanggan etnis Batak?
(Terjemahan oleh MJA Nashir.)
Sementara saya di sini di Belanda dan hanya bisa merayakannya secara kecil-kecilan, tak lebih dari sekedar mengikuti proses perayaan tersebut melewati Facebook. Pada suatu pendapat saya membuat komentar bahwa tradisi ulos juga bisa dirayakan sebagai tangible heritage (warisan budaya benda). Sulit untuk menentukan dari segenap report yang ada di Facebook yang mana sesungguhnya bagian yang ‘intangible' yang masuk ke dalam perayaan tersebut, namun komentar saya tentang ‘tangible heritage’ Batak dimaksudkan untuk membuat orang mulai berpikir tentang perbedaan antara yang intangible dan yang tangible atas ulos.
Sejauh yang bisa saya tentukan, seperti juga yang biasa menjadi kutipan banyak orang tentang ulos: bahwa ulos merupakan tanda identitas Batak, pembawa berkah dari hulahula kepada boru dan menjadi kendaraan bagi doa karena tanpa itu doa tidak mampu mencapai dunia ruh/spiritualitas Batak tradisional (bahwa tak seorang pun lagi akan mengakui percaya dunia spiritualitas tradisional tersebut karena membawa sebuah stigma anti-Kristen). Apakah tidak ada hal-hal lainnya lagi yang merupakan intangible heritage (warisan budaya tak benda)?
Intangible Heritage, menurut UNESCO (tidak diragukan lagi inspirasi di balik program ini) meliputi tidak hanya unsur fisik (tangible) tapi "juga mencakup ekspresi hidup dan tradisi-tradisikelompok dan masyarakat yang tak terhitung jumlahnya di seluruh dunia yang telahdiwariskan dari nenek moyang mereka dan diturunkan kembali kepada keturunanmereka, dalam banyak kasus berlangsung secara lisan. "..." Sebagai penggerakkeragaman budaya, living heritagesangat rapuh.”
Bagi pikiran saya, ada ironi yang sangat menyedihkan dan mendalam di dalam perayaan warisan budaya tak benda dari ulos tersebut justru karena komponen yang telah punah itu. Saya masih bertanya-tanya apakah bagian 'intangible' dari ulos itu telah disinggung dengan cara apapun pada tanggal 17 Oktober? Keprihatinan saya adalah bahwa sangat sedikit yang diketahui lagi tentang bagian 'intangible' ulos. Jika para penyelenggara dan sekarang mereka ingin merayakan ulos dari segi ini, akankah hari perayaan itu tidak tampak berbeda? Maksud saya ini dalam arti harfiah. Sepertinya hari perayaan itu didasarkan pada status quo ulos yang nyata di masa sekarang.
Dari gambar yang saya lihat, sebagian besar tekstil yang dipakai adalah dari jenis desain Sadum. Sadum aslinya bukanlah ulos Batak Toba; asalnya dari Angkola. Menjadi terobosan secara perlahan selama abad ke-20, pertama ke Silindung, kemudian selebihnya ke Toba, lalu ke Simalungun dan Karo. Awalnya itu turun di luar adat tetapi hanya menjelang akhir abad lalu secara bertahap menjadi diterima, atau setidaknya tidak lagi dilarang, sebagai kain adat. Sekarang jenis kain ini telah menjadi desain ulos yang dominan yang telah memudarkan hampir semua jenis ulos lainnya (dengan pengecualian sesekali Ragi Hotang, Ragidup dan Pinunsaan dan suji Batak). Betapa ironis bahwa orang-orang justeru menggunakan desain kain Angkola ini untuk merayakan warisan tenun tak benda dari Toba! Inilah sebuah gejala kepunahan yang tanpa disadari atas warisan budaya takbenda dari Toba, dan bukannya cara untuk mendorong pelestariannya.
Kedua, saya melihat bahwa sebagian besar ulos yang dipakai adalah tenun ATBM (semi-mekanik) dan bukan tenun tradisional (tenun gedhogan). Kain-kain tenun itu dihiasi dengan benang sintetis yang tidak ada hubungannya dengan warisan tekstil lokal, tetapi merupakan gejala dari pengaruh eksternal yang relatif baru. Dalam pengalaman saya, warisan tak benda (intangible) dari ulos dinyatakan terutama dalam cara kain tradisional Batak yang dibuat melalui alat tenun gedhogan dan bukan hanya di dalam bagaimana kain-kain tersebut digunakan dalam ritual. Aturan desain dan teknik (ketakbendaan ulos) menghasilkan penyegaran fisik (kebendaan ulos) dari pemikiran tradisional Batak atau pandangan dunia (warisan budaya tak benda). Justru inilah yang telah menghilang dalam produksi ulos untuk pasar. Ada beberapa alasan untuk ini. Salah satunya adalah bahwa gereja telah mengecilkan pandangan dunia Batak tradisional. Lainnya adalah bahwa telah berlangsung lama di masa sekarang, pasar ulos belum mendukung karya terbaik yang bisa dibuat seorang penenun dengan waktu yang diperlukannya untuk menghasilkan kualitas tinggi. Sekarang penenun hanya menghasilkan yang serba cepat-cepat saja. Mereka dipaksa bersaing dengan produk yang lebih cepat dari alat tenun semi-mekanik (ATBM) tersebut. Dan itu berarti bahwa mereka akan selalu gagal! Mereka akan selalu memiliki rasa kekurangan karena pekerjaan mereka lebih lambat dan pendapatan mereka lebih kecil dari pemilik pabrik dan pekerja ATBM. Hal ini berdampak bagi tingkat kerja mereka, kualitasnya menjadi lebih rendah.
Saya ingin tahu dimana ada komponen dari perayaan tersebut yang telah dirancang untuk mendorong karya terbaik dan yang tradisional dari seorang penenun? Apakah ada tenunan yang telah diseleksi karena kandungan intangible tradisional mereka? Saya ragu karena justru itulah yang telah hilang. ‘Ulos terpanjang' yang dirayakan pada hari itu dibuat pada alat tenun semi-mekanis (ATBM). Apakah masih ada lagi orang Batak yang ingat bahwa ulos yang sangat panjang dulu dibuat dengan alat tenun gedhogan untuk digunakan selama horja bius, ritus tahunan besar merayakan kelangsungan hidup?
Ketiga, ada fashion show dari bahan bakal yang disebut 'ulos', tapi dari semua yang tampak itu, merupakan kain yang terbuat dari alat tenun ATBM. Fashionalisasi adalah fungsi dari kekuatan ekonomi global yang menggabungkan kepribumian (adat) tetapi meninggalkannya sedikit atau tak ada ruang lagi untuk berfungsi pada batasan-batasannya sendiri. Saya mencoba memahami produk fashion menggunakan kain ulos menjadi bertentangan dengan perayaan warisan budaya tak benda. Fashion dapat merayakan 'penampilan' dari ulos, merayakan desain dengan mengesampingkan komponen multi-dimensi ketakbendaan (intangible). Fashion ulos ditampilkan untuk memperagakan bahwa orang Batak telah memasuki ranah yang disebut 'modernitas'. Ironisnya lagi bahwa orang-orang ingin menunjukkan bahwa mereka adalah modern, padahal nyatanya 'modernitas' adalah semuanya yang telah mereka miliki. Sejarah kuno mereka atas warisan budaya tak benda telah hilang. Fashion menggerakkan tradisi ulos bahkan lebih menjauh dari warisan budaya tak benda yang agung dari masa silam.
Saya masih terus bertanya-tanya apakah ulos dapat dihidupkan kembali? Ini akan menjadi sebuah anakronisme jika dihidupkan kembali, referensi ke dunia Batak dari masa lalu. Saya percaya ada nilai dalam kebangkitan macam itu karena saya memperhatikan bahwa banyak orang Batak yang lapar dan haus akan pengetahuan tentang warisan mereka. Ini akan menghasilkan pemahaman yang lebih lengkap dari identitas mereka. Hari-hari di masa silam memang tidak akan pernah kembali, tetapi tradisi tenun masih bisa diturunkan menjadi sesuatu yang sangat berharga, yang artistik, yang bentuknya terbatas. Apakah itu masih ada di mana saja dalam bentuknya yang intangible? Karena kebangkitan tradisi ulos tergantung pada aksesibilitas pengetahuan intangible ini. Pengetahuan intangible adalah sumber dari kain yang tangible. Apa manfaat intangible warisan Batak dari adanya Hari Ulos Nasional? Apa manfaatnya bagi para penenun tradisional (gedhogan)?
Saya ingin mengeluarkan tantangan bagi para penyelenggara Hari Ulos Batak Nasional. Saya menantang Anda untuk memanfaatkan energi dan antusiasme perayaan ulos ini di tahun-tahun mendatang agar benar-benar bermanfaat bagi para penenun tradisional Batak. Saya menantang Anda untuk menyelidiki 'karakter ketakbendaan' (‘intangible character’) dari ulos Batak (di luar fungsi kain) dan kemudian membuatnya dikenal untuk anak cucu, merayakannya untuk anak-anak dan cucu-cucu Anda, sehingga generasi mendatang pun bisa mengaksesnya. Apa perlunya perayaan warisan budaya takbenda itu jika warisan itu punah? Apa sesungguhnya yang sedang dirayakan pada tanggal 17 Oktober? Apakah barangkali hanya sekedar kebanggan etnis Batak?
(Terjemahan oleh MJA Nashir.)
No comments:
Post a Comment